DAG DIG DUG DI GADOG



DAG DIG DUG DI GADOG
CERPEN                                : SUTARA

Ciawi Bogor, tepatnya di Unitex sebuah pabrik kain besar di Bogor, Wira dan rekan-rekan bekerja sebagai buruh harian lepas , itupun bukan karyawan Unitex tapi kerja bangunan tepatnya rangkaian AC pabrik , dimana boloewer atau kipas  besarnya berukuran enam meter persegi dan saluran udara kedalam pabrik berukuran lebar satu meter dan tinggi satu meter dan panjangnya sepanjang pabrik.
Teknisi ahli dari korea, bangsa kita hanya pegawai kasar, seperti merakit, mengelas, memasang kain dan pinising lainya. Sementara oreng korea yang punya rancang gambar dan rancang bangun. Bedanya insinyur luar negeri korea khususnya ia tidak segan dengan kotor, sekalipun pakaian serba bagus dan rapi , tetapi dilapangan ia tanggung jawab dan terjun langsung sampai blepotan oli atau cat atau lem dan lain sebagainya. Biasanya Ahli bansa kita, sepatunya mengkilat pakaian r api dandanan perlente dan kerjanya hanya memutar-mutar pulpen dan menggulung kertas sampai lusuh.
Keuletan ketekunan orang korea benar-benar acungan jempol, kapan kita seperti mereka yang hanya jadi pelengkap atau sebagai tenaga bantuan yang perlu tenaga exstra tetapi hasilnya jauh dibanding dengan penghasilan tenaga Asing, maka tidak jeran kalau harta negara kita terkuras oleh Asing dan bagai mana apabila tenaga asing lebih banyak yang bekerja di Tanah tercinta ini?
Hampir semua rancang bangun yang ada di Negeri ini dikuasai Asing, nah kapan kita berjaya ditanah kelahiran sendiri, bukan sebaliknya sengsara di Negeri sendiri.
Wira bekerja menjelang pinishing, apa yang dikerjakan tinggal bagian-bagian ringan, seperi nenpel paku pin dan menempel grasbul serta menutup dengan kain kasa seperti perban.Gaji lumayan namun waktu hampir selesai.Sepertinya kontrak kerja masih panjang sementara pekerjaan hampir rampung, sehingga sang mandor mengisyaratkan pada para pekerja untuk santai dan terkadang bisa tiduran di lorong AC yang bergelantung di atas mesin-mesin Pabrik, bagi pekerja yang memiliki rasa tanggung jawab hal ini seperti menghianati amanat, sehingga satu persatu para pekerja pulang kampung, mencari kerja yang halal.
Selepas sore Wira berjalan menelusuri jalan sepanjang Ciawi, dengan tujuan mencari bangunan lain untuk meneruskan kerja setelah di Unitex selesai, karena Wira  tidak mempunyai pekerjaan tetap atau kontrak kerja dengan sebuah perusahaan, ia bebas bekerja dengan siapapun yang penting dapat kerjaan, seperti Tukang Batu, tukang gali sekalipun menjadi kuli panggul.
Kiri kanan jalan rindang pepohonan besar dan perhotelan dan vila-vila di tepian jalan dengan ornamen dan berbagai pariasi lampu disco, semakin sore semakin jelas lampu kelap-kelip, para remaja putri sudah siap mejeng menjerat para hidung belang.
Wira yang polos pemuda asal Majalengka bak kena sihir, mata seakan tak berkedip melihat dandanan ABG yang pulgar layaknya bagai balita, bahkan dayang-dayang itu menggoda dan melambaikan tangan sambil meniupkan napas bahkan ada juga yang pandai bersiul menggoda Wira. Namun bagi Wira bukan itu yang dicari, Wira hanya mencari bangunan yang belum beres dan akan mencari sang mandor barang kali mau diterima sebagai pekerja bangunan.
Beberapa tempat bangunan yang didatangi , namun jawaban sang mandor,”mohon maaf tidak ada lowongan, pekerja sudah banyak, keuangan terbatas”. Apa boleh buat Wira harus terima kenyataan dan terus berjalan menelusuri Ciawi.
Sampailah pada sebuah tempat yang dikenal  “Patung Ayam” di daerah Gadog di sekitar Bogor, didepan sebuah pila besar dengan halaman yang luas dan pepohonan besar. Wira beristirahat bersandar pada pohon besar dan duduk sembari narik napas panjang, melepas rasa penat dan cape setelah berjalan sekian kilo.
Dari arah belakang Wira, menghampiri seorang kakek  tua dengan kaos oblong dan celana kolor,”De mau kemana atau dari mana seperti sangat cape? Tanya Si Kakek.
“Saya dari Ciawi , lagi kerja di Unitek pasang AC, namun pekerjaan hampir rampung, jadi sambil jalan jalan mencari sambungan pekerjaan Kek”, jawab Wira sambil tarik napas.
“Tuh disebrang vila ini ada bangunan, kakek kenal dengan mandornya, kalo mau, kakek kenalkan dengan mandornya”, sang Kakek menawarkan jasa.
“Terimakasih kek, sudah berbaik hati pada saya, semoga Allah membalas kebaikan Kakek” balas Wira.
“Kita ketempat kakek yu, disana ada air dingin dari kulkas, ada sedikit makanan, lumayan ganjel perut” ajak kake ke Wira.
“ Kakek tinggal dimana?”tanya Wira.” Kake menunggu vila besar  itu”, kata Kakek sambil menunjuk kesebuah vila besar.” Yu kita kesana lewat belakang, ada batako bolong jalan pintas kakek dan kambing piaran kakek” sikake sambil meraih tangan Wira.
Benar juga si Wira dan si Kakek masuk ke sebuah vila lewat pagar batako yang dibobol sebesar terowongan gorong-gorong yang berdiameter satu meter.
Domba piaraan si Kakek dibiarkan berkeliaran dibelakang sekitar Vila, sudah terbiasa dan dengan halaman yang luas dengan rumput hijau, maka domba-domba si kakek tidak menjarah ketempat yang jauh. Seperti tak pernah kekeringan, setiap saat kran-kran otomatis menyemprotkan air bak air mancur senayan.
Sampai didalam vila si kakek mengeluarkan air putih dingin dari kulkas dan buah-buahan, bagi Wira merupakan suatu kehormatan baginya, orang baru ketemu sudah berbaik budi dan tak mungkin dapat membalasnya.Selama di tempat bangunan pabrik selalu makan dan minum dari warung pak Kumis yang selalu dicatat dan ditotal setiap seminggu setelah bayaran.
Setelah ngobral yang lain-lain tentang Wira dan Kake, ahirnya sang kakek berjanji akan mempertemukan sang mandor dan Wira jam tujuh malam atau selepas Isa, Wira pun dikasih ongkos untuk naik angkot untuk datang pada waktunya, Wira berpamitan dan menuju ketempat kerja di Ciawi Bogor.
Wira bergabung bersama teman kerja lainnya ditempat kos dan makan bersama di rumah makan bapa kumis sambil menunggu waktu dan pengalaman tadi sore tidak diceritakan pada rekan-rekan sepekerjaan Wira.Adapun saudara Wira yang ingin mengetahui keberadaan Wira saat sisang tadi pergi kemana, namun Wira menjelaskannya dengan nada meendah.
Selepas solat isa Wira punya janji dengan Si Kakek yang ada di sebuah vila di Patung Ayam daerah Gadog Bogor.Dengan uang pemberian si kakek untuk ongkos angkot serta pas karena sikakek sudah apal tarif angkotnya, maka dengan itungan menit angkot sudah berhenti didepan vila yang di tuju.
Dengan arahan sang kakek apabila mau masuk vila lewat depan, harus pijit bel yang menempel dibagian dalam pagar, dengan cara memasukan tangan kelobang yang ditunjuk si kakek sampe ketemu bel.Pagar yang kokoh dari kayu Sumatra dengan urat-urat seperti pecah-pecah dengan cat hitam dan tampak seperti tak ada penghuni.
Begitu Wira memijit bel dan bel berbunyi sayup-sayup karena gerbang dengan ruangan tamu  lumayan jauh.Beberapa saat seperti tak ada jawaban bahkan seperti rumah hantu yang jauh dari tetangga dan keramaian.Hanya pohon-pohon besar yang rindang dan tanaman hias yang penuh disetiap sudut Vila, membuat Wira bertanya-tanya didalam benaknya,”adakah kehidupan didalamnya?”
Gerbang dibuka, namun Wira tampak kaget sebab yang membuka gerbang anak baru gede(ABG) dan diruang tengah masih banyak perempuan –perempuan dengan dandanan ala sinden panggung, namun kekagetan Wira segera buyar ketika sang kakek menghapiri,”Mari masuk dan duduklah dulu, nanti kakek ceritakan semuanya” kata sang Kakek menenangkan pikiran Wira.” Mereka itu siapa kek?” Wira menunjuk pada permpuan ABG itu.
“mereka itu anak-anak karouke, mereka biasa kakek antar ke tempat si Abah empunya karoke”, jawab si Kakek.” Si Abah itu sisapa Kek?” Wira penasaran.
“yang punya tempat karouke itu namanya si Abah dikenalnya, beliau asli Majalengka sama sepert kamu Wira” kata si Kake.
“Tadi sore Kakek mencari mandor bangunan itu, namun katanya ia pulang kampung ke Kuningan, jadi kakek belum ketemu” cerita Kakek pada Wira.”Wah, jadi belum ada kepastian diterima tidaknya ya kek?” Wira setengah putus harapan.
“kemarin-kemarin si Mandor cerita panjang lebar ama kakek, ia masih membutuhkan banyak tenaga tukang dan kernek, untuk mengejar target dan harus selesai tepat waktu” jelas si kakek.
“Kalau pulang kampung biasanya berapa lama kek?” Wira penasaran
“Biasanya tidak lama, dalam sebulan paling lama dua hari, itu pun kalo datang suka bawa tenaga baru dari kampung” jawab kkakek.
“Kalau pendudk sini, ada yang kerja apa tidak kek?” tanya Wira.
“Wah disini pendatang semua dan hampir sebagai penjaga Vila dan sekuriti” jelas si kakek
“Benar susah nyari orang dan susah juga nyari kerja” jawab Wira.
“ Tapi masih ada satu lagi yang ingin kakek tanyakan pada si Abah, pemilik karouke, katanya ia butuh orang untuk merenofasi kos-kosan atau penampungan karyawannya” kata si Kakek,
“Itu dimana Kek?” Wira penasaran.
“ Nanti kita sama-sama mengantar gadis-gadis itu sambil kita ngobrol dengan si Abah” kata si Kakek.
“Makasih kek, jadi merepotkan aja nih”, kata Wira sambil menatap para ABG yang genit genit.
“ Tidak-apa-apa kakek juga merasakan dulu pernah mencari kerja, kesana kemari dan sangat sulit, bahkan pernah terkatung-katung dan jadi anak jalanan tidur beralaskan kardus dan selimut seadanya ,setelah tua kakek dipercaya merawat sebuah vila besar, yang pemiliknya ada diluar negeri” jelas kakek.
Waktunya mengantar ABG dengan sebuah angkot dan penuh sesak, sampai-sampai Wira terhapit para ABG itu, Wira yang jebolan kampung Jatiwangi hatinya DAG DIG DUG.Gaun dan aroma farfum yang menabrak hidung Wira yang masih asing dengan suasana semacam itu, entah ada rasa apa dalam batin Wira, ibarat seorang pangeran yang dikerumuni para bidadari dari kayangan.
Angkot berhenti pada sebuah karaouke, lampu-lampu disco warna warni dan hentakan musik rege, anak-anak ABG itu lansung berhamburan menuju karouke, bahkan ada satu cewe centil yang melambaikan tangan pada Wira sambil berucap,”dadah yayang, sampai jumpa lagi”, wira hanya tersenyum malu.
Sikakek tidak turun dari angkot masih ada jarak yang harus ditempuh menuju rumah si Abah, memang tempat karaouke tidak dijadikan tempat tinggal, khusus untuk kegiatan  karaouke.
Beberapa menit kemudian sampailah pada bangunan mewah tempat si Abah, ternyata dipanggil Abah orangnya masih muda.Panggilan Abah mulai dari para bidadari yang bekerja di tempat karauoke, ia terbiasa memanggil Abah, maka jadilah populer di panggil Abah.
“Bah ini teman saya butuh kerjaan, ia bisa menjadi tukang batu, dan tukang kayu, tukang cat dan kerjaan bangunan lah” kata si Kakek
Wira hanya manggut manggut dan tersenyum seperti menunggu keputusan dari si Abah yang katanya membutuhkan orang untuk dipekerjakan.
“Siapa nama dan dari mana de?” tanya Si Abah.”Saya Wira, dari Jatiwangi Majalengka” jawab Wira Singkat.”Wah aku juga dari Majalengka wilayah Kadipaten” jawab si Abah.”kalau sudah musim mangga, wah.... disana tempatnya, sepanjang jallan penuh berbagai mangga, ada harumanis, gedong gincu sebagai andalan Majalengka dan yang lainnya” jelas si Abah.
“Sama Bah, dari Jatiwangi juga banyak mangga cengkir dan rambutan” jawab Wira
“Kalau pekerjaan si ada seperti ngecet bedeng, tempat anak-anak karauke, tapi barang-barangnya belum belanja” kata si Abah.
“ Kamau bisa mijit?” tanya si Abah.”kalau ahli si tidak, kalau sekedar mijit pegel ya suka” jawab Wira.
“ Coba praktekan cara mijit kamu, kalau terpake akan ada pekerjaan enteng dan untung besar “, kata si Abah.”Siap Bah” jawab Wira.
“ Jaman sekarang sesuatu harus diuji coba dulu, kalo memuaskan baru pikir-pikir, Ok?” tanya si Abah
Si Abah membuka bajunya dan merebahkan diri, sementara Wira sebisa mungkin memijit si Abah.Sambil dipijit si abah bercerita panjang lebar dan menjajikan setelah belanja barang nanti dihubungi lagi untuk melaksanakan pengecatan bedeng. Keringat bercucuran disekitar tubuh Wira yang sedang diuji kemampuan dari sisi memijit. Propesi memijit sangat menjajikan kalau pelayanan dan cara memijit memuaskan pelanggan.
Setelah cukup beberapa menit si Abah menghentikan Wira, dan sambil minum kopi si abah memberikan ongkos untuk besok pagi datang lagi, untuk menyurpai bedeng yang akan di cat, ahirnya si kakek dan Wira berpamitan pulang, sementara si kakek turun di vila dan Wira kembali ke kosn teman-teman di Ciawi Bogor.
Semakin malam suhu dibogor semakin dingin, semua teman Wira terlelap tidur meski beralas kardus dan pembungkus semen, karena kelelahan seharian bekerja , tetapi bagi Wira otaknya semakin panas, apa yang terjadi semenjak di vila sikakek dan berdesakan dengan ABG diangkot dan lambaian ABG yang turun dari angkot juga obrolan si kakek dan si Abah mengisi otaknya sampai susah tidur.
Walaupun susah tidur Wira bangun lebih pagi dari teman lainnya sebab Wira punya janji dengan si Abah untuk menyurpai Bedeng yang akan di cat, dalam benak Wira akan punya borongan yang lumayan buat bekal pulang kampung.Smenetara hasil kerja di Unitex habis untuk makan diwarung pa Kumis.
Setelah sarapan di Warung Pa Kumis, Wira bergegas menuju tempat si Abah di Gadog Patung Ayam Bogor.Masih pagi sekali Wira sampai di Bedeng punya si Abah. Begitu sampai bedeng Wira kaget luar biasa kata bedeng dalam pikiran Wira adalah sebuah gudang barang namun nyatanya tempat penampungan para wanita nakal alias pe es ka.
Kedatangan Wira ke bedeng itu menjadi rebutan anak-anak pe es ka, kebanyakan apa adanya belum dandan karena masih pagi bahkan belum pada mandi, ada satu dua orang dari bedeng lain sedang menjemur diri menghadap kearah timur kearah matahari.Para pekerka sex yang bermukim dikomplek bedeng-bedeng itu dalam keadaan natural tanpa kosmetik ya sama seperti keadaan dikampung asal mereka, tetapi saatnya sore mereka disulap jadi bidadari seperti yang turun dari langit, sungguh hal yang membodohi dirinya sendiri.
Bagi Wira si anak kampung yang tidak pernah sama sekali terjun kedunia hitam, hatinya dan jantungnya DAG DIG DUG, bagaikan bedug Masjid menjelang lebaran, wajah memerah, darah mengalir dari ujung kuku ke ubun-ubun, hal itu jadi bulan bulanan para WTS dari kedunguan Wira, ada yang menawari rokok dan langsung menyalakan api ada juga yang menawri macam-macam.Seorang perempuan menyodorkan sebungkus kecil , yang isi dua batang, bentul biru lengkap dengan korek gas, dengan rasa aga kemalu-maluan Wira menerima pemberian seorang wanita itu, “Ternyata lonte juga baik hati” jawab Wira.
Bagi Wira bedeng itu terasa panas, padahal suhu bogor bagi orang normal sangat dingin.”Mas baru ya main kesini? Tanya seorang waita setengah telanjang.”iiya,baru”, jawab Wira gugup.
“Nanti juga terbiasa mas” Jawab perempuan lainya sambil duduk mepet .
Dalam gerumulan perempuan-perempuan, si Abah memanggil dan mengajak ngobrol diruangan rumah si Abah yang agak jauh dari bedeng-bedeng.Si  Abah memahami perasaan Wira yang bagai gula dikerumuni semut-semut nakal.
“Begini De, sehubungan dana masih belum memungkinkan jadi acara ngecat bedeng ditunda sampai pada waktunya akan Abah panggil tinggalkan alamat dan nomor telepon bila nanti dibutuhkan akan dihubungi segara dan tidak akan mencari orang lain, ok?” kata si Abah.”iya bah saya mengerti” kata Wira.
Wira menulis pada secarik kertas alamat tempat tinggal yang asli di kampung halaman berikut nomor telepon yang aktif.
“ De Abah punya saran, kau punya badan gak jelek-jelek amat, kalau bisa merayu ABG dan bisa diantar ke tempat Abah, bonus dari Abah dua juta dari satu orang, bayangkan bila bisa menghadirkan lima ABG berapa engkau dapat dalam satu waktu dan tanpa mengeluarkan tenaga yang super” kata si Abah mempengaruhi pikiran Wira.
Getaran jiwa Wira bisa dilihat dari darah yang mengalir deras lewat raut majah, dimana pekerjaan yang ditawarkan si Abah tidak sejiwa dengan pendirian Wira, sekalipun ia seorang tukang kuli bangunan Wira memiliki latar belakang pendidikan, pernah lulus sekolah dasar, pernah sekolah menengah pertama, pernah sekolah pendidikan guru juga belajar mengaji dari beberapa tempat, keturunan orang baik, sekalipun hanya sebagai merbot Masjid Ciborelang.
Tetapi bagi Wira bisa menahan gejolak, ia merendah dan menghargai ajakan si Abah, berusaha agar bisa keluar dari rumah si  Abah, Wira seperti yang mengikuti jalan pikiran si Abah dan memberikan isyarat seperti yang tertarik.
“Silahkan pikirkan dengan matang, antara menggunakan otot dan otak” tandas si Abah.”akan aku pikirkan Bah”, wira mengurutkan keningnya.
Kembali Dag Dig Dug hati Wira, dimana hati bersih dan jiwa jahat berkecamuk, setan menyetujui siasat si Abah, namun keimanan Wira masih kuat masih bertahan dan masih kukuh.
Benteng Iman yang kuat pada diri Wira, tidak langsung masuk perangkat siasat si Abah, yang menggiurkan untuk kehidupan sehari-hari dengan tanpa harus bersusah payah.
Setelah berpamitan Wira langsung pulang kampung dan dalam perjalanan jiwanya berkecamuk dan terus membayangi jiwa yang hampa, namun hati yang paling dalam sudah kuat dan takan tergoda sehingga berkeyakinan tidak akan melakukan apa yang di tawarkan oleh si Abah, pertemuanya dengan si kakek yang awalnya sebuah kenangan manis tetapi berujung jalan keneraka.
Wira berpikir bahwa manusia dengan berbagai cara dalam mengejar duniawi sampai melupakan hal-hal yang diajarkan oleh leluhur atau agama yang dianut, mungkin ini pengaruh jahat melanda manusia dengan berbagai godaan sehingga menghalalkan segala cara.
Sesampainya dikampung halaman, Wira mengganti nomor hand ponnya, mewanti-wanti pada teman tetangga dan lingkungan apa bila ada orang asing yang tak dikenal menanyakan tentang Wira untuk tidak memberikan keterangan dan jangan ditanggapi karena mereka akan mencari anak-anak perawan dan dengan dalih untuk dipekerjakan namun kenyataannya diperjualbelikan atau dijadikan dagangan birahi, nauzubilah mindalik.
Wira selu berdoa agar tetap kuat dalam Iman Islam serta menjadi pemuda harapan orang tua dan penerus genersi bangsa yang suci bersih dan berjiwa kesatria, sekalipun tetap menjadi kuli bangunan yang sangat halalan toyiban dan dapat menjalankan sareat agama dengan semprna.
Meskipun demikian dagdigdug hati Wira tetap ada, namun dalam batas normal dengan penuh damai, temtram dan tidak ada perasaan berdosa dalam setiap langkah, tidak seperti berada di wilayah Gadog.
Semoga pengalaman Wira ini menjadikan contoh untuk para generasi penerus bangsa dan para ABG yang bisa menjaga diri dan menjaga kehormatan demi nama baik dirinya, keluarga dan negara.
Jatidiri Bangsa dimulai dari jiwa-jiwa pemangku negeri, jiwa bersih cerminan bangsa yang suci dari berbagai kotoran.
Harapan Wira pemerintah segera membersihkan daerah Gadog Patung Ayam dari oknum-oknum penjual jiwa, sehingga lingkungan itu menjadi benar-benar asri hijau dan suci, sehingga generasi penerus bangsa memiliki darah yang sehat, sehat pikiran dan berahlak mulia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Milik Moal Pahili Bagja Pada Boga

JANGAN TINGGALKAN KAMI GURUKU