JANGAN TINGGALKAN KAMI GURUKU
JANGAN TINGGALKAN KAMI
GURUKU
Cerpen : Sutara
Bangunan balai desa
yang disekat-sekat atau dijadikan beberapa ruangan kelas, kelas satu ada lima
belas orang, kelas dua ada tujuh orang, kelas tiga enam orang, kelas empat lima
orang, kelas lima ada tiga orang dan kelas enam ada satu orang.Mereka anak
–anak peserta Transmigran dengan berbagai asal tempat, seperti dari Banjar
Negara, Majalengka, Tanggerang , menempati lokasi Transmigrasi di Primer
sebelas Musi Banyu Asin, Bayung Lincir Sumatra Selatan.
Stap pengajar (guru)
juga diambil dari peserta Transmigrasi, seperti Pak Wira asal Majalengka dengan
latar belakang pendidikan SPG(Sekolah Pendidikan Guru), Masno asal Banjarnegara
dengan latar belakang pendidikan SMA(Sekolah Menengah Atas), bapak Warma asal Majalengka
denga latar belakang pendidikan SMP(Sekolah Menengah Pertama) dan seorang
jender Sumiyati dari Banjar Negara dengan latar belakang pendidikan SMA(Sekolah
Menengah Atas).Pak Wira dipercaya memimpin di sekolah itu.
Pasilitas yang ada
buku-buku bacaan dan kapur tulis serta papan tulis triplek yang sangat tipis,
itu pun terselenggara atas kepedulian departemen Transmigrasi dengan honor
gurunya sebesar dua puluh lima ribu setiap bulannya.
Pak Wira yang baru
lulus SPG 1985 yang nekad teken program Transmigrasi sehubungan jeda
pengangkatan guru hingga bingung kemana harus melangkah, setelah mendengar ada
program Transmigrasi maka keputusan pak Wira, mencoba mengikuti program
pemerintah ini.
Meskipun tempat
menuntut ilmu sangat darurat, anak-anak merasa memiliki komunitas kembali
dengan teman baru dari berbagai daerah dengan bahasa pemersatu yakni bahasa
Indonesia.Namun demikian kekhasan logat bahasa mereka tidak hilang bahkan
menjadi kekayaan bahasa dan keragaman budaya.
Lokasi Transmigran yang
pasang surut, artinya suatu waktu air naik kepemukiman dari sungai disekitar
tempat bermukim dan beberapa jam kemudian air kembali kehilir dan untuk pak
Wira yang berasal dari Majalengka hal seperti ini dianggap heran atau hal baru.
Ketika air sedang
pasang, dimanpaatkan warga transmigran mengangkut kayu-kayu limbah
penggergajian untuk dijadikan bangunan tambahan, karena bangunan dari
pemerintah hanya berukuran enam meter persegi, untuk membuat dapur dan halaman
mencari sendiri. Sebanyak mungkin kayu yang dibutuhkan asal mau dengan tanpa
harus membeli alias gratis.
Ketika air menuju ke
hilir dimanpaatkan pak Wira naik sampan menuju sekolah itu pun dikayuh oleh
siswanya bernama Samin kelas enam asal Tanggerang Selatan, hampir tiap hari
antar jemput menggunakan sampan, kecuali sungai kering baru jalan kaki sejauh
lima kilo meter.
Ketika sungai kering
semua warga transmigran turun kesungai karena banyak sumber hayati yang dapat
dijadikan sumber pencaharian, seperti mencari udang catang(besar), kepiting dan
ikan lundu yang terjebak dikobakan, selain itu banuak juga ikan gabus
dirawa-rawa dengan cari dipancing menggunakan mata pancing yang sebesar peniti
dengan umpan anak katak.
Ditempat pasang surut
sangat tidak bisa menentukan musim tanam karean tiap hari air datang dan pergi,
sehingga susah menebar benih, kebanyakan para anggota Transmigrasi mencari
sumber makanan ke hutan dan sungai.
Dihutan ditemukan pohon
nibung, dan pucuk-pucuk warakas juga pohon lain pengganti nasi pengganjal perut
sambil menunggu datangnya bantuan beras dari pemerintah yang cukup sebulan bila
dikelola dengan apik. Untuk kepala keluarga dua belas kilo, ibu rumah tangga
sepuluh kilo, anak-anak tujuh kiloan ditambah gula pasir dua kilo, ikan asin
lima kilo, garam lima kilo, dan minyak tanah sepuluh liter.
Bagi Pak Wira yang
berangkat dari Majalengka seorang diri mendapat dua puluh dua kilo karena pada
saat mendaftar memasukan ibu kandungnya sebagai pendamping, pada saat akan
berangkat tidak tega diberangkatkan karena ibunya sudah lansia.
Pak Wira menempati
rumah di pertengahan pemukiman dengan nomor undian rumah tiga puluh tiga,
setiap sore hari rame dikerumuni anak-anak transmigran dengan menggali
pengalaman dari pak Wira.
Sebagai pengupah jiwa
orang tua siswa mengirim makanan seperti gule ikan gabus, bagi pak Wira masih
asing dengan cara masak ikan gabus dengan cara digule, sebelumnya gabus dibakar
dulu kemudian dimasukan ke kuah gule, lumayan mantap dimakan dengan nasi liwet
buatan pak Wira.
Ketika tiba hari libur
semua warga transmigran bergotong royong membabad jalan tembus ke pinggir hutan
yang dibatasi dengan parit alam(buatan) guna membatasi binatang buas masuk ke
pemukiman warga.
Bergerombol masuk
hutan, mencari rotan dan kayu yang berguna untuk keperluan alat rumah tangga
seperti, kursi meja dan perbotan dapur.Hutan yang masih alami dan belum dijamah
manusia hingga jalan yang akan dilaluipun harus naik turun pohon tumbang dan
masuk kesemak belukar dan menerobos lilitan akar rotan bahkan nyamukpun tak
terbendung menembel di badan.
Uang honor pertama pak Wira dibelikan kain batik dan
keperluan lainya, jauh dari lokasi transmigrasi kalau berjalan kaki memerlukan
empat jam perjalanan darat dan satu jam bila naik getek(perahu dayung atau
desel)
Jatah beras dari
pemerintah banyak yang tekor, atau tidak nyambung dari bulan ke bulan, karena
beras dijadikan barang barter untuk kebutuhan lain seperti ditukar kue jajanan
anak, tembako dan kopi atau teh yang tidak ada jatah dari pemerintah, sehingga
pernah ada keterlambatan kiriman jadi masalah besar, karena anak-anak butuh
makan.
Demopun terjadi untuk
segera dikirim beras, masyarakat mendesak petugas pembagi beras, namun apa daya
petugas beragumen bahwa perjalanan pengiriman lewat jalur air, apa bila air
surut maka kapal tidak bisa masuk lokasi.Tetapi warga maksa untuk membuka
gudang barang kali ada sisa beras bulan kemarin, terjadilah saling desak dan
ahirnya gudang dibuka pakasa warga dengan menggunakan golok dan ahirnya
ditemukan dua karung beras, kemudian beras dibagi rata oleh pemimpin demo dan
setiap warga dapat dua kaleng susu beras.
Berita ini sampai
kepada pihak keamanan yakni babinsa lengkap dengan spitbut dan
kelengkapansenjata laras panjang, warga tidak takut dengan senjata itu karena
tanpa ditembakpun kalau dibiarkan banyak yang mati kelaparan.Akhirnya Babinsa
berbalik arah hendak mencari bantuan makanan terutama beras, dan tak lama
kemudian spit boat yang ditunggangi Babinsa datang dan membawa dua karung beras
dan dibagi rata sejumlah warga dan mendapat satu liter beras, lumayan untuk
menyambung hari itu, dijanjikan besok hari kapal bisa bersandar di permukiman.
Anak-anak jadi patokan
utama, masa depan bangsa kita ditentukan oleh anak-anak kita dimasa depan, apa
bila dalam perjalanan hidupnya untuk makan saja susah, bagaimana otak akan
berpikir cemerlang dalam memajukan bangsa.
Didalamnya untuk
mencerdaskan generasi penerus bangsa peran guru sangat dibutuhkan sebagai
pembimbing pengarah dan pendamping dalam menuntut ilmu dan mengembangkan
potensi yang ada pada diri anak masing-masin.
Sebaliknya agar dapat
guru membimbing dengan tenang dan telaten maka pemerintah perlu memperhatikan
keperluan, kebutuhan dan kesejahteraan guru yang madani, cukup demi peduli guru
menuju guru peduli, bila pemerintah peduli pada guru dengan sendirinya guru
pasti peduli pada anak didik dan lingkungan sekitar.
Guru di pedalaman
banyak yang lari ke kota semata-mata ingin mendapat tambahan pencaharian yang
semakin komplek.Apalagi keharusan guru dengan minimal sarjana dimana ekonomi
yang belum setabil ditambah dengan aturan yang baru.
Suatu masa datang
sahabat yang dari Majalengka Kang Tatang, sacuir kertas ditujukeun ka Wira,
hati Wira bertanya-tanya ada apa dan dari mana alamat surat yang ditujukan
padanya.Sekalipun sedang lapar-laparnya Wiwa menghentikan makannya, lebih
tertarik pada sebuah surat, dan dibacalah surat itu.
Kepada yang terhormat,
kakanda ditempat, semoga kakanda saat membaca surat ini dalam keadaan sehat
walafiat, adapun yang ingin adik kabarkan kepada kaka tentang ayah, dimana ayah
empat bulan yang lalu telah berpulang kerahmattullah, aku harap kaka tetap
tabah dan mendoakan semoga bapak diterima disisi Allah serta kaka tetap
melanjutkan pekerjaan dengan tenang sampai
tercapai tujuan .Apa boleh buat, Wira juga manuasia biasa memiliki
hubungan batin dengan sang ayah yang usianya sudah lanjut dan belum banyak
berbakti atau menyenangkan sebagai balas budi atas jasanya, air mata yang
membasahi pipinya dan mengalir deras meski tak terdengar tangis yang berarti.
Wira merenung sejenak
dan pikirannya berkecamuk menentukan pilihan antara bertahan dalam tugas
sebagai guru honorer, atau pulang kampung menengok kuburan sang ayah, maka
sampailah pada sebuah keputusan untuk segera pulang kampung dulu.
Wira mengurus surat
ijin ke dinas Transmigrasi untuk meminta ijin pulang kampung maksimal dua bulan
kemudian akan kembali mengajar di tempat transmigrasi itu, itupun tidak mulus
di acc, kepala UPTD memberikan nasihat agar jangan terlalu lama dipulau jawa,
pengalaman sebelumnya juga banyak yang minta ijin pulang dan tak datang lagi dengan
tidak ada kabar beritanya.
Wira bertekad akan
kembali bahkan dia akan pulang tidak membawa apa-apa hanya pakaian salin dalam
kantong kecil yang memuat dua setel baju celana dan handuk kecil.Sebelum
berangkat bepamitan pada siswa-siswinya agar tidak kehilangan pak Wira dalam
beberapa saat, dengan tujuan pulang kampung menengok kuburan sang ayah pak
Wira.
Lambaian tangan
anak-anak sekolah Transmigran yang berjejer di sepanjang sungai mengiringi
kepergian guru yang dicintainya yang entah akan ketemu lagi atau yang terahir
menurut pemikiran anak-anak transmigrasi.
Berat rasanya tangan
pak Wira membalas lambaian anak didiknya dan terharu sehingga tak terasa air
mata menetes dipipinya, pengalaman pertama bagi Wira menjadi Guru dan sebagai
kepala sekolah sementara yang tak mungkin terlupakan dalam sejarah hidupnya.
Kapal getek melaju
perlahan menelusuri anak sungai menuju Induk sungai Musi di Palembang Sumatra
Selatan, Kiri kanan sungai pemandangan hutan alam yang asri dan alami yang
masih utuh belum terjamah asing dan para pengusaha.
Kapal bersandar tepat
dibawah jembatan Ampera yang menjadi Ikon Kota Palembang, dimana konon katanya
jembatan ampera bisa naik turun, maksud naik adalah bila ada kapal besar memuat
barang, jembatan bisa ditaikan sehingga kapal masuk tanpa menyentuh bawah
jembatan, setelah kapal lewat jembatan diluruskan lagi seperti semula.
Naik angkot menuju
stasion Kereta api bernama Kertapati, enamjam menuju Pelabuhan Panjang dan
disambung naik kapal penyebrangan bernama Jatra, yang memuat orang dan barang,
diatas dak kapal bisa melihat panorama laut yang dipecah oleh mesin kapal Jatra
sehingga buih laut seperti bongkahan salju, mata lepas memandang pada lampu
lampu kecil yang dipancarkan dari menara-menara sepanjang tepian laut yang
terlewati.
Sekitar empat jam
diatas kapal, Kapal merapat di Pelabuhan Merak Propinsi Banten , kami turun dan
menuju ke mobil yang ada dibagian bawah kapal yang jumlahnya sangat banyak.
Selama dalam perjalanan
di Bus antara Merak Cirebon bagiku tidak seindah di atas laut, sehingga didalam
bus Wira tidur pulas sampai di Palimanan dan Wira turun langsung mencari mobil
seperempat atau elep jurusan Kadipaten dan memerlukan watu tempuh hanya
setengah jam bila jalan tidak macet.
Begitu sampai dikampung
halaman Wira, langsung menuju kuburan umum dimana sang ayah dikuburkan, “
asalamualaikum ya ahlil kubur”, Wira memasuki kawasan pemakaman Umum dikawasan
Ciborelang Jatiwangi Majalengka. Wira mencari lokasi pemakaman ayahnya sesuai
petunjuk sang adik yang katanya ditempatkan dekat dengan pamanya yang telah
mendahului wafat, maka Wira tidak kesulitan mencari lokasi mesti sendiri datang
ke pemakaman.
Sekuat apapun Wira, ia
lemas lunglai seperti kapas kena air, tangannya menempel ditanah merah yang
masih memerah,air mata membasahi pusara ayahnya, dia merasa berdosa, sebelumnya
ingin membahagiakan dan menghajikan ayahnya bila sukses nanti, hal ini belum
kesampaian keburu ajal tiba Allah berkehendak lain, Wira segera sadar dan tak
perlu lama larut dalam kesedihan karena sadar bahwa dalam waktu yang berbeda
semua akan terpanggil menghadap Allah.
Wira berkumpul dengan
Ibu dan adik kakanya, namun sebelum berangkat lagi menuju tanah transmigrasi,
wira harus mampir ketempat kakanya di Jakarta Barat.Setelah cukup waktu
istirahat Wira pun mempersingkat waktu untuk segera menemui kakanya.
Kampung Duri Grogol
Jakarta Barat, tak susah alamat itu dicari dan bertemu dengan Kaka Kandung yang
suaminya berasal dari Balaraja Banten.Singkat cerita Wira mendapat bujukan
kakanya untuk bekerja sebagai Satpam di PT Sulindo Sejahtera di Jalan Mauk
Tanggerang, berdasarkan beberapa pertimbangan maka Wira memutuskan menerima
tawaran kakanya sebagai Satpam sebuah perusahaan di Tanggerang.
Semua persaratan
seperti kelakuan baik, surat lamaran dan semua sarat dipenuhi sehingga cadangan
dana yang semula untuk ongkos kembali ke Sumatra terpakai dan nyaris habis.
Diisaratkan hari senin
langsung kirim sarat dan bisa langsung kerja karena kedekatan bos dengan kaka
saya cukup dekat, pekerjaan kaka saya sat itu sebagai supir pribadi bosnya.
Sejak hari Sabtu Wira mulai mencari alamat yang tertulis di maf,namun apa yang
terjadi Tanggerang yang masih asing bagi Wira yang belum pahan letak wilayah,
sehingga banyak bertanya namun belum tepat sasaran karena semua yang ditanya
jawabanya tidak tau.
Wira berpikir dan
bertanya pada dirinya, “Sebesar apa pabrik Sulindo Sejahtera, sehingga banyak
orang yang tidak tau, padahal jalan yang dituju sudah tepat yakni jalan Mauk”,
pikir Wira sambil mengelus paha yang kelelahan.
Disebuah pohon rindang
jauh mata mendang ditengah terik panasnya Tanah Tanggerang, dengan harapan
hampa, dia berprediksi akan kacau langkah hidup kedepan, dengan map yang
ditenteng ditangan yang hampir lecek karena keringat yang membasahi tubhnya
maka jatuh pada keputusan akhir, segera kembali ke Jakarta menemui kakanya
dengan tujuan ingin diantar langsung, sebab kakanya yang menjadi supir akan
mengantar sampai tempat tujuan.
Ketika sampai gerogol
menulusuri gang setiakawan lima dan sepuluh meter ketempat rumah kakanya,
tiba-tiba kakanya keluar rumah dan melihat Wira datang, “ Hai orang udik, kau
membuat aku malu, saya sudah bilang ama bos, suruh masuk kerja malah luntang
lantung”, kaka Wira yang berbadan tegaf bak jawara marah dengan telunjuk tepat
kearah muka Wira.
Wira setengah tidak
percaya pada kenyataan yang dihadapi, benarkah setega itu soudaranya
bertingkah, Wira terdiam tanpa bicara, Wira balik kanan dan berjalan perlahan
dengan tujuan tidak pasti kemana hendak melangkah, sepanjang jalan hanya air
mata dan hati yang berdebar atas keputusan saudaranya yang tanpa kompromi.
Anah yang mendengar
suami memaki-maki adik kandungya segera keluar dari rumah dan menyusul ke arah
Wira berjalan,”tunggu de!kau mau kemana?” sambil napas terengah karena
kegemukan.”aku segera pulang ceu, disini hanya merepotkan keluarga ceuceu aja”,
Wira meneruskan langkah meninggalkan kakanya.”emang punya ongkosnya?” kakanya
merasa kasihan.”Kalau uang sudah habis, tapi antara Jakarta dan Cirebon tidak
harus menyebrang lautan, sehingga jalan kakipun pasti nyampe” tegas Wira.
Keputusan Wira tidak
bisa dipertahankan sang kaka, hati Wira sudah terpukul, uang habis badan pegal,
kerja gagal dan harapan kembali ke Sumatra Selatan ke tempat Transmigrasipun
gagal total, yang ada tinggal menunggu harapan yang tidak pasti yang entah apa
yang harus dilakukan pada keadaan seperti ini.
Sekejam apapun hubungan
dengan saudara yang diperbuat terhadap adik kandung Anah terketuk meberi alakadarnya untuk bekal
dijalan pengganjal lapar, maka berusa meminjam dana talangan sebesar sepuluh
ribu kepada tetangga yang dikenal di gang setiakawan itu.Memang benar adanya
Wira hanya sepuluh ribu pemberian kakanya uang yang ia punya.
Keluar dari gang
setikawan menuju terminal Grogol, inisiatif Wira akan mencari kakak yang ada di
Kebayoran Baru yang menjadi saudara seayah dan seibu, kalau dengan Anah saudara
satu ayah dan beda ibu.
Sesampainya di
Kebayoran Wira menceritajkan semua kejadian dan untuk menenangkan semua
kejadian Wira ikut kerja bersama Iwan sebagai kakak Kandung dengan usaha baru
sebagai penjual koran eceran, berkeliling lewat gang dan pelosok sewilayah
Jakarta Selatan.
.
Komentar
Posting Komentar