CERITA CINTA ANAK PEDAGOGIK
: SUTARA
Dikisahkan
di Kota Angin di era Orde Baru, di sebuah CERITA CINTA ANAK PEDAGOGIK
CERPEN sekolah
jenjang es el a, yang populer S M A Pedagogik, yang hidup dijaman itu pasti tau
sekolah apa itu?
Di ruang kelas
dua mepet ke ujung tembok paling belakang, Bento dan Wira menduduki kursi
belakang, didepannya Sur dan Ukur,dengan ketua kelasnya Entik Kartika dan
Walikelasnya Drs.Suganda.
Bento anak
kadipaten yang terbilang dari keluarga berkecukupan lain halnya dengan Wira
yang pendiam dan selalu meratapi kehidupan yang penuh misteri dan penuh tanda
tanya akan kelangsungan hidup kedepanya. Wira dengan modal nekad untuk bisa
sekolah, karena dari latar keluarga yang amat sangat darurat dengan orang tua
yang hanya sebagai marbot masjid Ciborti, akan tetapi wira memiliki mental baja
dengan selogan,” langkahkan kaki setapak demi setapak”.Seiring perkembangan
waktu baik Bento maupun Wira memiliki perkembangan psikologi atau mengalami
masa-masa adolesen.
Wira yang mula-mula agak malu-malu,
agak tertarik dengan lawan jenis yang duduk dibangku depanya, berbagai pedekate
dan siasat dan akhirnya Wira menemukan cara pedekate yang dianggap aman.
Dibuatnya secual kata pada secarik kertas dengan tulisan Aksara Sunda(ha na ca
ra ka da ta sa wala) dan gayung bersambut mendapat respon dari Ukur juga
dibalas dengan (ha na ca ra ka da ta sa wala).
Kuncup-kuncup bunga mulai mekar
dengan perlahan ditanah dingin dengan kecepatan hembusan Angin Majalengka yang
nakal, namun demikian Wira terjaga nafsu dan emosusinya hingga bisa membawa
diri kejalan yang diharapkan oleh lembaga pedagogik, ajaran pengajian setiap
Rebo malam dibawah asuhan Drs Jaenudin MZ selaku pengasuh sekaligus pendidik di
lembaga pedagogik.
Belajar tetap prioritas nomer wahid
bagi Wira, sementara tali kasih dengan Ukur sebatas pelipur jiwa yang hampa,
benak Wira yang bagaikan kusutnya benang yang takan ada yang sanggup
meluruskan, dimana beban yang dipikul Wira sangat sarat dengan berbagai
rintangan kehidupan yang berbentuk materi demi kelangsungan sekolahnya.
Masih ada celah untuk menikmati
indahnya pemandian Cipadung bersama teman dan belahan jiwanya, dinginya air
Cipadung seakan tak menembus badan Wira karna suasana berbeda bagaikan ditaman
surga, dunia milik Wira dan Ukur.
Bagi Bento sangat beruntung duduk
sebangku dengan Wira, ia selalu mengandalkan kemampuan yang dimiliki Wira,
sementara kehidupan Bento yang anak bandar Pare itu selalu santai tanpa beban,
baik ekonomi maupun hal lainnya.
Ukur, anak pakaleran yang berrambur
kriwil bagai supermi basah juga sangat bahagia bersahabat dengan Wira yang
lembut dan berwibawa tanpa emosian dan selalu bisa memecahkan masalah tanpa
memunculkan masalah baru, dan yang paling dia suka dari Wira bisa menahan gas
esmosi jiwanya.
Teman dan temin satu kelas sudah tak
menganggap asing persahabatan Wira dan Ukur, namun ada rahasia besar yang
tersembunyi yang mungkin tidak diketahui oleh banyak rekan sekelas Wira.
Wajah dan penampilan Wira, menupi
kisah yang sebernya, Wira yang penuh misteri, semenjak masuk ke sekolah pedagogik
itu, belum pernah menghadirkan orang tua, karena orang tua Wira memang sudah
jompo sekali, ia berusaha bekerja keras dengan cara kuli panggul dan serabutan
lainnya demi kelangsungan perjuangannya.
Klimaknya ketika ayah Wira sakit,
perang sabil pada diri Wira, andai saja terus berjuang sekolah dikampus
pedagogik, maka akan terlantarlah sang ayah dan belum banyak memberi sesuatu,
maka muncullah sebuah keputusan, harus keluar dari sekolah dengan sebutan DO
(Droup Out).
Suatu malam Wira tidak tidur dan menulis
sebuah surat,”Ukur, belahan jiwaku, sebelumnya permohonan seribu maaf atas
segala perlakuanku terhadapmu, aku yakin aku takan sanggup mengatkan langsung
dihadapanmu, sepertinya langkahku dalam menuntut ilmu dan menjagamu takan
bertahan, aku akan segera jauh dari pandangan mu juga sekolah ini, rasanya tak
perlu banyak tau tentang aku, ku do’a kan semoga Allah menjaga kamu dan
berhasil sampai Lulus, lupakan dan maafkan aku, sampai jumpa semoga panjang
umur, wasalam Wira.
Malam itu benar adanya Wira hanya
airmata yang bicara, sepertinya kerongkongan
kering dan tak kuasa menahan sedih dalam perpisahan itu. Malam itu pula Wira
melangkahkan kaki dari rumah kontrakan sekitar pukul 02.00. Wira perlahan
melangkahkan kaki, namun Muhamad teman kosnya sempat terkagetkan dan,”mau
kemana masih malam?” aku jawab,”saya pulang kampung dulu” dan air mata terus
bercucuran.
Wira menuju
kadipaten dan diteruskan naik bis kearah barat Jakarta yang akan di tuju,
terminal Cililitan disambung naik bis Kota menuju Kebayoran Lama, ahirnya Wira
sampai dikontrakan kakaknya , Saman namanya, namun sempat kebingungan dengan
kecocokan alamat dan nama, sementara alamat benar nama Saman diganti jadi Iwan,
untung wira cepat tanggap dan ahirnya bertemulah ditanah rantau dengan tempat
yang super sempit dan mepet kekali, bahkan pondasinya diatas saluran yang
airnya kehitam hitaman.
Wira
bergabung dengan kakaknya berjualan koran dan majalah yang diperoleh dari Bos
Dim, yang biasa mangkal sejak pagi buta diemperan pertokoan,Saman memberikan
arahan cara berjualan dan cara penyetoran juga apa bila lintas siang hari harus
diobral maka semua itu wira cepat memahami dan jadilah pedagang koran keliling.
Untuk
berteduh ada Musola bapak Ustad Abdul Karim, disana ada beberapa orang yang
senasib dan sependeritaan, seperti tukang abu gosok, tukang loak dan kakek Amat
asal pekalongan yang tua renta juga buta, kakek amat sangat mengenal Jakarta
sekalipun buta, sebab sebelum buta pernah tinggal lama dengan usaha berjualan
tempe, akibat perkelahian dengan begal dan bagian kepala kena pukul maka kakek
Amat buta dengan tidak melihat cahaya sedikitpun.
Wira dalam
perjuangannya dalam menyambung hidup, berjualan koran dan majalah, menelusuri
gang sempit dan tak segan naik bis kota dari satu bis ke bis yang lain, kadang
bergelantung di pintu bis yang padat penumpang dengan resiko tinggi demi
membela sesuap nasi.
Kala siang
hari sisa setor Mas Dim, terkadang hanya cukup untuk makan diwarung tegal, nasi
sayur tempe tahu dan segelas teh manis,sisa ada untuk sarapan bubur besok pagi
dari Mas Gimin.
Menjelang
malam sehabis berjamaah solat isa, Wira digembleng tentang kehidupan, dari
kakek Amat, dia banyak memberikan motivasi pada Wira supaya kuat dalam
menghadapi segala cobaan.
Tukar
pikiran dengan pedagang abu gosok asal Rangkas, juga berbagi pengalaman dengan
kang Samin Penjahit asal Tasik yang juga sama tinggal dimusola itu.Semual
liku-liku hidup disimpan dalam benak Wira yang dalam pengembaraan.
Suatu saat ,
mentari diatas ubun-ubun siang bolong, Wira ada disekitar lampu merah Kebayoran
Lama, ditenteng koran dan majalah, handuk kecil melingkar dileher yang deras
peluh, mata tajam menatap para sopir barang kali ada yang mau beli koran,”Pos
Kota, Sinar Pagi, Kompas, Majalah, majalah,” pekik Wira.
Pada jam itu
pula saatnya bubaran anak sekolah SMA, dengan seram putih abu, berhamburan dari
arah timur menuju arah barat dan akan melewati dimana Wira berdiri, dan
tertutuplah wira oleh lautan anak sekolah.
Wira hatinya
luluh dan air mata mengalir tanpa terasa,”andai aku masih dibangku sekolah,
mungkin aku berdampingan sohibku, bercanda gurau dan...ah”, wira menyeka air
mata dan bergegas pulang menuju Musola segera tunaikan solat duhur sekaligus
pamitan kepada kakanya Saman.
“Ka aku tak
kuat taklukan Jakarta, aku ingin kembali ke bangku sekolah, meski aku harus
mengulang, aku rela dan aku akan bersabar” Wira berpamitan pada Saman.”Kok,
sangat mendadak sekali, kakak ga bisa membekali apa-apa, dua anak dan istri
hanya dari jualan koran”, Saman sangat mengesali hal itu. “Keputusan ini sama
seperti aku meninggalkan bangku sekolah, begitu mendadak dan sepontan, dua
bulan cukup aku mencicipi pait getirnya hidup di Ibu kota yang sangat penuh
perjuangan, semoga menjadi pemacu semangat aku dalam melanjutkan sekolah, aku
mohon doa dari kakak”Wira tanpa banyak acara langsung pamitan dan menuju
kampung halaman.
Dalam
perjalanan pulang yang ada dalam benak Wira adalah suasana didalam kelas
bersama dengan teman-teman dan Ukur sahabatnya.Namun ujian buat Wira , begitu
turun dari Bis di terminal Cimahi dan nyambung ke Cirebon namun si Abang Beca
membawa Kantong Wira dengan tujuan akan mengantar ke jurusan Bis Cirebon,
tetapi dalam perjalanan diminta ongkos yang sama dengan ongkos bis Jurusan
Cirebon Jakarta, hal itu Wira tidak banyak melawan menjaga keselamatan diri
ahirnya dia bayar sesuai permintaan si Abang Beca.Ujian berikutnya didalam bis
Jurusan Cirebon Wira duduk dekat Jendela dibangu dua, tak lama naik seorang
bapa dengan tanpa membawa apa-apa, tetapi ketika kondektur membagikan karcis,
si bapa itu gelagapan semua pesaknya diperiksa namun dompetnya ada yang ngambil
orang, Wira yang duduk disampingnya menolong dengan sisa ongkos dan
tertolonglah bapa itu sampai di Sumedang.
Wira tiba di
Jatiwangi dengan uang Pas habis, turun depan Masjid Ciborelang langsung Masuk
Masjid Solat Magrib dan bertemu dengan sang Ayah Sanen yang bekerja sebagai
marbot Masjid.Seperti gayung bersambut dalam percakapan Wira dan ayahnya, yang
intinya bahwa Wira harus segera datang ke Majalengka untuk menemuai empunya
kontrakan untuk keperluan sekolah, maka selepas solat magrib Wira langsung
menuju kota Majalengka dengan sedikit bekal dari sang ayah yang mengumpulkan
recehan dari kuli di pasar Ciborelang.
Selepas isa
Wira tiba di Majalengka, berjalan menuju gang Sarko dan sampailah pada sebuah
rumah bangunan tua yang dulu Wira Kos,”Asalamualaikum” Wira beruluk salam.Dari
dalam yang menjawab dan membuka pintu adalah bapak Uka Subagja, empunya kos,
dia guru Seni di SMP Majalengka, dia membuka pintu dan memeluk Wira dengan erat,
saling peluk dan saling sapa. Wira tidak banyak kata hanya air mata yang terus
mengalir.
“Besok AA,
harus masuk sekolah, segala sesuatu tanggung jawab bapak”, tegas bapak Uka.Wira
tidak bisa menjawab rasa yang menggelora bagai mendapat hadiah besar, ingin melanjutkan
sekolah, ternyata mendapat sambutan yang menggembirakan dan ungkapan Wira hanya
air mata dan hati yang berbunga, rasa sukur yang mendalam yang tak terlukiskan
buat Wira, sementara teman kos yang masih ada Sukamto, Muhamad ikut memberikan
motivasi agar Wira mau dan harus menamatkan sekolah yang hanya satu taun lagi.
Pagi itu
Wira belum bisa datang kekampus pedagogik, teman dan sahabat disekitar kosan
berdatangan mencari tau, kemana dan kenapa wira meninggalkan sekolah begitu
lama dan Wira berbagi cerita tanta ada yang ditutupi.
Tak lepas
dari kawan-kawan juga sahabatnya Ukur, yang tampak kurus dilihat oleh Mata Wira
yang mungkin tekanan jiwa dan kehilangan seorang sahabat,”Hai Wira, aku seperti
ada dialam dongeng, malam itu kau kasih surat, pagi hari itu juga kau
menghilang ditelan waktu, dan kau kembali dalam kehampaan” Ukur
terbata-bata.Wira membalas dengan air mata, seperti yang lemah tanpa daya.
“Oh ya Wira,
segera masuk kembali ke kampus kuning, lima hari lagi akan ujian ahir, semoga
cepat menyesuaikan” Ukur memberi isyarat.
“Mohon
bantuan kalian semua, semoga aku dapat mengejar segala yang tertinggal” Wira
bangun semangat diri.
Alkisah
dengan motivasi dari sabat dan kerabat,Wira dintakan naik bersarat dimana ada
tiga mata pelajaran yang harus diremidi seperti, matematika, bahasa inggris dan
pedagogik. Semua itu tuntas dalam waktuyangsingkat, Wira kembali menemukan jati
diri bersama sabat Ukur dan sohib-sohibnya di Kota Angin Sekolah Pendidikan
Guru Majalengka.
Komentar
Posting Komentar